ART exhibition “SETUBUH”
October | 27 | 2012
OPENED BY
Ireng digdo iriyanto
Subandiyo a. wiraga
DISCUSSION With
Tubuh-tubuh yang
Bertiwikrama
OIeh
Efix Mulyadi
OIeh
Efix Mulyadi
Dunia seni rupa ternyata masih terus asyik dengan isu-isu
seputar tubuh. Saya teringat tentang sebuah karikatur yang menampilkan sosok
kekar dengan tampang berewokan, namun gesturnya jauh dan kesan seorang lelaki
jagoan. Teksnya berbunyi kira-kira seperti ini, “Tolonglah...saya terperangkap
di dalam tubuh yang salah...!!!!”
Tubuh pria kekar itu menjadi medan pertarungan antara
berbagai pandangan, persepsi, maupun harapan, antara dia sendiri yang mengalami
tubuh “dan dalam” dengan bermacam persepsi yang dibentuk “dan luar” tubuh yang
melayani segala macam kepentingan. Jelaslah bahwa tubuh tidak pernah sematam
ata sekadar entitas bendawi, bukan hanya realitas material seperti terlihat
pada wajah, tangan,dada, rambut, dan seterusnya. Di luar yang kasat mata itu
ada konstruksi psikis, di samping setumpuk pengalaman yang khas dan otentik
(semisal tentang makna kelamin, trauma kekerasan, rasa kehilangan dll), ada
berlapis memori, yang bensaling-silang dengan bermacam faktor lain seperti
nilai-nilai dasar tertentu, tertanamnya norma sosial, penilaku, persoalan identitas,
dan lain-lain.
Pandangan umum yang sampai kini masih berpengaruh kuat
adalah bahwa tubuh fisik merupakan rumah bagi jiwa yang luhur. Muncullah
semangat askese atau pengekangan agar tubuh bisa dikendalikan untuk tujuan yang
sifatnya transendental. Berbagai cara dan disiplin diterapkan untuk itu, sejak
menyepi, meditasi, berpantang, berpuasa, kungkum (benendam semalam suntuk) di
sungai, sampai yang ekstrim seperti mengubur sebagian tubuh dengan kepala di
bawah seperti para yogi.
Dualisme tubuh-jiwa ini yang
dianggap sebagai pandangan model religius tradisional berdampingan dengan
bermacam pandangan lain yang bermaksud mengupas, mengurai, mencincang, dan
mempelajani ikhwal tubuh dan berbagai sudut dan disiplin ilmu. Bisa dikatakan
tubuh menjadi gugusan nilai, identitas, simbol, dan metafor, yang seperti tak
pernah habis untuk dijelajahi, bahkan menjadi ladang yang subur untuk menyemai
berbagai gagasan yang bersifat psikologis, sosiologis, antropologis, bahkan
teologis dan filosofis. “Belum pernah tubuh menjadi salah satu tema utama
refleksi filosofis dan perenungan estetis demikian mendalam seperti pada
beberapa dekade terakhir,” ungkap ahli filsafat Bambang Sugiharto ketika
mengawali paparannya yang bertajuk “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat” dalam jurnal kebudayaan
“Kalam” edisi ke-15 tahun 2000.
Di dalam kancah seni rupa tubuh manusia telah digarap
secara habis-habisan dan zaman ke zaman. Kini kita masih mengalami masa
Fernando Botero yang meniup tubuh tokohnya menjadi menggelembung seperti balon.
Ia membuat manusia dan dunianya menjadi serba gemuk. “Itu seperti tongkat
sihir, dengan itu ia menggubah secara baru dunia dan kehidupan menjadi seperti
mengawanga wang,” tulis Mariana Hanstein di dalam buku panduan tentang perupa
kelahiran Medelin, Kolombia, tahun 1932 i. Hanstein menyebutkan di dalam
masyarakat Amerika Latin tubuh tambun dilihat sebagai isyarat akan kemakmuran
dan kesehatan yang baik. Melihat mereka orang akan merasa nyaman. Botero
memanfaatkan hal itu dan melakukan langkah hiperbolik, melebih-lebihkan, dan
muncullah dunia rekaan yang baru. Itu memang bukan dunia nyata sehari-hari,dan
itulah “seni” seperti mantra yang diucapkan oleh Picasso pada tahun 1923: “Di
dalam berkesenian, kita mengungkapkan apa yang tidak disampaikan oleh alam”.
Kanvas Hendra Gunawan dipenuhi sosok-sosok kurus memanjang dengan pewearnaan
ekspresif yang mengisi volume tubuh untuk menggambarkan problematika
masyarakat. Menurut Astri Wright di dalam buku “Hendra Gunawan a Great Modern
Indonesian Painter” terbitan Ciputra Foundation tahun 2001, Hendra memang
merayakan kehidupan rakyat kebanyakan sebagai potret kehidupan Indonesia. Empu
yang lain Mochtar Apin (1923-1994) menggunakan tubuh-tubuh sebagai representasi
dan perempuan yang menuntut ilmu di dalam menapaki kehidupan dunia modern di
Indonesia. Lukisan “Tiga Dara SMT” menjadi seperti ramalan: dua dan perempuan
di kanvas itu kelak berperan di dalam proses modernisasi Indonesia, kata seni
Jim Supangkat di dalam buku “Tubuh-tubuh Provokatif” terbitan Kepustakaan
Populer Gramedia tahun 2005.
Misteri waktu bisa dilihat lewat serangkaian
lukisan foto din Rembrandt (1606-1669) sejak dan masa muda yang penuh harapan
sampai menjadi pria berusia lanjut yang tampak kecewa namun tetap gigih.
Rembrandt telah memberi kita pelajaran berharga tentang dampak waktu terhadap
tubuh, namun kehadiran fotografilah kemudian yang membuat kita semua tersadar
penuh, demikian tulis E.H. Gombrich di dalam artikelnya “The Mask and the
Face”. (termuat di dalam buku “Art, Perception, and Reality” terbitan The John
Hopkins University Press dan Baltimore dan London tahun 1970).
Apa yang paling mencekam yang
mungkin dialami oleh tubuh kita? Kematian. Dan itu digarap dengan begitu
memukau oleh cukup banyak seniman dan berbagai zaman. Salah satu yang menonjol
tentu saja seniwati Kathe Kollwitz (1867-1945), yang boleh disebut sebagai
perupa terdepan yang mampu merekam, menafsir, dan menampilkan maut di dalam
karya-karyanya. Para pemikir seni menganggap karya-karyanya yang menampilkan
manusia sekarat, kesepian, kecewa, dan kesakitan, berhasil mengungkap kepedihan
zamannya berikut semangat perlawanan, serta kehidupan yang kelam. Kolwitz
memang hidup pada masa kelam Prusia yang kacau, Perang Dunia I, dan pada zaman
Hitler berkuasa.
Cara Damien Hirst dalam berurusan
dengan kehidupan dan maut sungguh berbeda. Perupa kontemporer terkemuka lnggris
kelahiran 1965 mi antara lain membuat tengkorak manusia bertaburkan berlian.
Apakah ia tengah mengolok-olok maut? Merayakan kematian? Atau mengajak kita
untuk menyadari bahwa kematian sama dekatnya dengan kita seperti juga
kehidupan? Berbagai pertanyaan dan komentar (banyak juga yang sinis) muncul di
dalam forum-forum interaktif dan berbagai surat kabar lnggris seperti misalnya
The Telegraph menanggapi pamerannya di Tate Gallery, London tahun 2012 mi.
Jompet memakai tubuh untuk mengungkap isu-isu sosial, budaya, dan peradaban
yang kompleks. Karya seni instalasinya “Java’s Machine: Phantasmagoria” menjadi
favorit di dalam perhelatan akbar seni antar bangsa Yokohama Triennale di kota
pelabuhan Jepang tersebut tahun 2008 (lihat Kompas 10 November 2008). Seniman
Yogya kelahiran 1976 mi menggunakan tubuh imajiner lewat 15 kostum prajurit
kraton Jawa, dipajang berjajar menggambarkan sebuah pasukan berbaris lengkap
dengan tambur. Singkat cerita, tubuh boleh menjadi wahana untuk menggambarkan
apa saja. dan efektif.
Pameran “Setubuh” dan Kelompok Pintu Mati mi tampaknya disiapkan dengan pendekatan yang luwes terhadap isu-isu tubuh. Bahasa rupa mereka beragam, menunjukkan kekayaan dasar para seniman, yang juga menggunakan kekuatan simbol dan metafora. Subandivo A. Wiraga, misalnya menyodorkan permainan “human-inhuman” lewat jajaran wajah dan topeng. Dalam “Dimensi Waktu dalam Hidup” ia menaruh gembok sampai tiga tahap untuk mengurung bunga mawar—sesuatu yang harus dijaga. Karyanya “Interuptus Langit Bumi” menyiratkan persatuan yin dan yang dalam semesta alam.
Pameran “Setubuh” dan Kelompok Pintu Mati mi tampaknya disiapkan dengan pendekatan yang luwes terhadap isu-isu tubuh. Bahasa rupa mereka beragam, menunjukkan kekayaan dasar para seniman, yang juga menggunakan kekuatan simbol dan metafora. Subandivo A. Wiraga, misalnya menyodorkan permainan “human-inhuman” lewat jajaran wajah dan topeng. Dalam “Dimensi Waktu dalam Hidup” ia menaruh gembok sampai tiga tahap untuk mengurung bunga mawar—sesuatu yang harus dijaga. Karyanya “Interuptus Langit Bumi” menyiratkan persatuan yin dan yang dalam semesta alam.
Sosok tubuh manusia utuh plus
moncong bertaring digarap Ireng Digdo Irianto dalam “Bermuka Dua”: manusiawi
dan hewani . Problem identitas muncul dalam “Aku Bukan Wayang” lewat
sosok-sosok manusia dan figur wayang kulit. “Bulan di Atas Bukit” menawarkan
sebuah kesunyian dan misteri hidup lewat sosok perempuan dengan mata kosong.
Tubuh hewan bermuka raksasa bersanding dengan wajah manusia tak sempurna
mengisi lukisan “Dicari Manusia Punya Jiwa” bagai pencarian tiada akhir.
Emmanuel Putro Prakoso sempat
bermain-main dengan bentuk yang memberi kesan seni-pop. Figur di bidang
gambarnya tampak lebih merupakan alasan untuk melatih komposisi bidang yang
rata dipulas warna-warni cerah. Karyanya “The Goddes of Fertility” menunjukkan
jejak itu di dalam konfigurasi unsur-unsur yang lebih tergarap, berupa sosok
ibu hamil tua tampil dalam tampak samping, memegang seonggok padi, dengan
rambut dikepang gaya akhir millennium kedua: simbol kesuburan masa kini. Narasi
dalam karya-karya Galih Reza Prihanandi Suseno mesti digali dengan cermat lewat
permainan sosok, relasi, dan maknanya. Jerapah dengan lingkaran halo di atasnya
dalam “Juxtaposition” mungkin yang terpilih sebagai penjaga firdaus, dan bukan
para manusia. Dalam “The Best is yet to Come” kerusakan dan kepedihan yang
menunggu manusia, sementara sosok berkepala kelinci itu tampaknya harus kita
lacak jejaknya dalam karya sebelumnya, “God always Listening and Understanding”
ltulah tokoh negeri dongeng yang membawa kabar kebaikan.
Nanang Yulianto mendemonstrasikan
kepekaan artistik yang tinggi dalam lukisannya seperti “Songkok Aspal”, atau
“Alam Biru’ maupun “Belajarlah Dan A, B,C...”, dan beberapa karya yang lain.
Namun ia ingin memberi makna yang lebih dalam lewat karya barunya “Black &
White Meditation”, sebuah gaya bertutur yang mengharapkan keterlibatan penonton
secara Iebih aktif. Orang gampang tertarik oleh garap visual, oleh jejak-jejak
sapuan alat kerjanya yang menjadi pintu pertama memasuki karyanya.
Yang menonjol pada karya Fadjar
Sutardi adalah citra teknologi, sains, kebaruan, kekinian atau masa depan,
memberi kesan logam, atau gambaran yang serba kabel, skrup, atau tombol. Jelas mi
menawarkan narasi baru, seperti berbagi perkara yang serba terukur, yang bisa
dirancang, dan yang bisa “dikendalikan”. Peran manusia menjadi penting di sini.
Maka menarik melihatnya memadukan antara unsur “non-alami” dan unsur manusia
seperti dalam serial lukisan “Ear-Composition” dan “Dajjal Eye”. Puncaknya
antara lain “Dajjal Eye Part 2’ yang tampil di dalam bentuk-bentuk geometris
yang sebagian tembus pandang dan tumpang tindih. Di sini terlihat upayanya
untuk merangkum unsur-unsur tak terduga, termasuk kehadiran sosok mata yang
terkesan mendadak muncul dan berbagai arah. Kerumitan mi di dalam “Dajjal Eye
Part 3” diimbuh dengan latar sebidang datar yang berisi kesan kaligrafis.
Kedua lukisan yang disebut terakhir mi
boleh diduga merupakan semacam jembatan ke arah karya-karyanya terkini seperti
“Lingga Mind Yoni Soul”. Tampak olahan visual yang cenderung berwarna tunggal
nada, dengan arahan utama memberi kesan sebagai produk manusia yang serba
canggih, maju, serba teknologi, atau komputer. Tanda-tanda fisik dan petikan
tubuh manusia jelas (telinga, mata, jan, dan sebagainya), tampil Iebih di dalam
penggambaran konsep dualitas yang saling melengkapi: yin-yang,
negative-positif, atau yoni-lingga. Di dalam hal mi yoni mengambil bentuk
sebagai semacam wadah, dan Iingga sebagai sesuatu yang mengisi, menjadi
representasi dan berbagai problem manusia yang tetap relevan dengan kekinian.
Begitulah, tubuh manusia telah bertiwikrama menjadi gugusan makna, nilai,simbol, identitas, yang bersaling silang untuk menjadi cermin bagi manusia: kita, yang hidup di han-han mi.
Begitulah, tubuh manusia telah bertiwikrama menjadi gugusan makna, nilai,simbol, identitas, yang bersaling silang untuk menjadi cermin bagi manusia: kita, yang hidup di han-han mi.
Jakarta,
28 Agustus 2012
(Efix Mulyadi, pecinta seni)
(Efix Mulyadi, pecinta seni)
Efix Mulyadi
Hari Budiono
Fadjar Sutardi
DISKUSI
Bersama Kuss Indarto Aseli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar