Selasa, 16 Juli 2013

I'm in PINTU MATI Exhibition "SETUBUH"

ART exhibition “SETUBUH”

October | 27 | 2012


OPENED BY

                  Emmanuel Putro Prakoso
                Nanang Firel


Ireng digdo iriyanto

Subandiyo a. wiraga


DISCUSSION With




Tubuh-tubuh yang Bertiwikrama
OIeh
Efix Mulyadi

            Dunia seni rupa ternyata masih terus asyik dengan isu-isu seputar tubuh. Saya teringat tentang sebuah karikatur yang menampilkan sosok kekar dengan tampang berewokan, namun gesturnya jauh dan kesan seorang lelaki jagoan. Teksnya berbunyi kira-kira seperti ini, “Tolonglah...saya terperangkap di dalam tubuh yang salah...!!!!”
            Tubuh pria kekar itu menjadi medan pertarungan antara berbagai pandangan, persepsi, maupun harapan, antara dia sendiri yang mengalami tubuh “dan dalam” dengan bermacam persepsi yang dibentuk “dan luar” tubuh yang melayani segala macam kepentingan. Jelaslah bahwa tubuh tidak pernah sematam ata sekadar entitas bendawi, bukan hanya realitas material seperti terlihat pada wajah, tangan,dada, rambut, dan seterusnya. Di luar yang kasat mata itu ada konstruksi psikis, di samping setumpuk pengalaman yang khas dan otentik (semisal tentang makna kelamin, trauma kekerasan, rasa kehilangan dll), ada berlapis memori, yang bensaling-silang dengan bermacam faktor lain seperti nilai-nilai dasar tertentu, tertanamnya norma sosial, penilaku, persoalan identitas, dan lain-lain.
            Pandangan umum yang sampai kini masih berpengaruh kuat adalah bahwa tubuh fisik merupakan rumah bagi jiwa yang luhur. Muncullah semangat askese atau pengekangan agar tubuh bisa dikendalikan untuk tujuan yang sifatnya transendental. Berbagai cara dan disiplin diterapkan untuk itu, sejak menyepi, meditasi, berpantang, berpuasa, kungkum (benendam semalam suntuk) di sungai, sampai yang ekstrim seperti mengubur sebagian tubuh dengan kepala di bawah seperti para yogi.
            Dualisme tubuh-jiwa ini yang dianggap sebagai pandangan model religius tradisional berdampingan dengan bermacam pandangan lain yang bermaksud mengupas, mengurai, mencincang, dan mempelajani ikhwal tubuh dan berbagai sudut dan disiplin ilmu. Bisa dikatakan tubuh menjadi gugusan nilai, identitas, simbol, dan metafor, yang seperti tak pernah habis untuk dijelajahi, bahkan menjadi ladang yang subur untuk menyemai berbagai gagasan yang bersifat psikologis, sosiologis, antropologis, bahkan teologis dan filosofis. “Belum pernah tubuh menjadi salah satu tema utama refleksi filosofis dan perenungan estetis demikian mendalam seperti pada beberapa dekade terakhir,” ungkap ahli filsafat Bambang Sugiharto ketika mengawali paparannya yang bertajuk “Penjara Jiwa, Mesin Hasrat” dalam jurnal kebudayaan “Kalam” edisi ke-15 tahun 2000.
            Di dalam kancah seni rupa tubuh manusia telah digarap secara habis-habisan dan zaman ke zaman. Kini kita masih mengalami masa Fernando Botero yang meniup tubuh tokohnya menjadi menggelembung seperti balon. Ia membuat manusia dan dunianya menjadi serba gemuk. “Itu seperti tongkat sihir, dengan itu ia menggubah secara baru dunia dan kehidupan menjadi seperti mengawanga wang,” tulis Mariana Hanstein di dalam buku panduan tentang perupa kelahiran Medelin, Kolombia, tahun 1932 i. Hanstein menyebutkan di dalam masyarakat Amerika Latin tubuh tambun dilihat sebagai isyarat akan kemakmuran dan kesehatan yang baik. Melihat mereka orang akan merasa nyaman. Botero memanfaatkan hal itu dan melakukan langkah hiperbolik, melebih-lebihkan, dan muncullah dunia rekaan yang baru. Itu memang bukan dunia nyata sehari-hari,dan itulah “seni” seperti mantra yang diucapkan oleh Picasso pada tahun 1923: “Di dalam berkesenian, kita mengungkapkan apa yang tidak disampaikan oleh alam”. Kanvas Hendra Gunawan dipenuhi sosok-sosok kurus memanjang dengan pewearnaan ekspresif yang mengisi volume tubuh untuk menggambarkan problematika masyarakat. Menurut Astri Wright di dalam buku “Hendra Gunawan a Great Modern Indonesian Painter” terbitan Ciputra Foundation tahun 2001, Hendra memang merayakan kehidupan rakyat kebanyakan sebagai potret kehidupan Indonesia. Empu yang lain Mochtar Apin (1923-1994) menggunakan tubuh-tubuh sebagai representasi dan perempuan yang menuntut ilmu di dalam menapaki kehidupan dunia modern di Indonesia. Lukisan “Tiga Dara SMT” menjadi seperti ramalan: dua dan perempuan di kanvas itu kelak berperan di dalam proses modernisasi Indonesia, kata seni Jim Supangkat di dalam buku “Tubuh-tubuh Provokatif” terbitan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2005.
            Misteri waktu bisa dilihat lewat serangkaian lukisan foto din Rembrandt (1606-1669) sejak dan masa muda yang penuh harapan sampai menjadi pria berusia lanjut yang tampak kecewa namun tetap gigih. Rembrandt telah memberi kita pelajaran berharga tentang dampak waktu terhadap tubuh, namun kehadiran fotografilah kemudian yang membuat kita semua tersadar penuh, demikian tulis E.H. Gombrich di dalam artikelnya “The Mask and the Face”. (termuat di dalam buku “Art, Perception, and Reality” terbitan The John Hopkins University Press dan Baltimore dan London tahun 1970).
            Apa yang paling mencekam yang mungkin dialami oleh tubuh kita? Kematian. Dan itu digarap dengan begitu memukau oleh cukup banyak seniman dan berbagai zaman. Salah satu yang menonjol tentu saja seniwati Kathe Kollwitz (1867-1945), yang boleh disebut sebagai perupa terdepan yang mampu merekam, menafsir, dan menampilkan maut di dalam karya-karyanya. Para pemikir seni menganggap karya-karyanya yang menampilkan manusia sekarat, kesepian, kecewa, dan kesakitan, berhasil mengungkap kepedihan zamannya berikut semangat perlawanan, serta kehidupan yang kelam. Kolwitz memang hidup pada masa kelam Prusia yang kacau, Perang Dunia I, dan pada zaman Hitler berkuasa.
            Cara Damien Hirst dalam berurusan dengan kehidupan dan maut sungguh berbeda. Perupa kontemporer terkemuka lnggris kelahiran 1965 mi antara lain membuat tengkorak manusia bertaburkan berlian. Apakah ia tengah mengolok-olok maut? Merayakan kematian? Atau mengajak kita untuk menyadari bahwa kematian sama dekatnya dengan kita seperti juga kehidupan? Berbagai pertanyaan dan komentar (banyak juga yang sinis) muncul di dalam forum-forum interaktif dan berbagai surat kabar lnggris seperti misalnya The Telegraph menanggapi pamerannya di Tate Gallery, London tahun 2012 mi. Jompet memakai tubuh untuk mengungkap isu-isu sosial, budaya, dan peradaban yang kompleks. Karya seni instalasinya “Java’s Machine: Phantasmagoria” menjadi favorit di dalam perhelatan akbar seni antar bangsa Yokohama Triennale di kota pelabuhan Jepang tersebut tahun 2008 (lihat Kompas 10 November 2008). Seniman Yogya kelahiran 1976 mi menggunakan tubuh imajiner lewat 15 kostum prajurit kraton Jawa, dipajang berjajar menggambarkan sebuah pasukan berbaris lengkap dengan tambur. Singkat cerita, tubuh boleh menjadi wahana untuk menggambarkan apa saja. dan efektif.
Pameran “Setubuh” dan Kelompok Pintu Mati mi tampaknya disiapkan dengan pendekatan yang luwes terhadap isu-isu tubuh. Bahasa rupa mereka beragam, menunjukkan kekayaan dasar para seniman, yang juga menggunakan kekuatan simbol dan metafora. Subandivo A. Wiraga, misalnya menyodorkan permainan “human-inhuman” lewat jajaran wajah dan topeng. Dalam “Dimensi Waktu dalam Hidup” ia menaruh gembok sampai tiga tahap untuk mengurung bunga mawar—sesuatu yang harus dijaga. Karyanya “Interuptus Langit Bumi” menyiratkan persatuan yin dan yang dalam semesta alam.
            Sosok tubuh manusia utuh plus moncong bertaring digarap Ireng Digdo Irianto dalam “Bermuka Dua”: manusiawi dan hewani . Problem identitas muncul dalam “Aku Bukan Wayang” lewat sosok-sosok manusia dan figur wayang kulit. “Bulan di Atas Bukit” menawarkan sebuah kesunyian dan misteri hidup lewat sosok perempuan dengan mata kosong. Tubuh hewan bermuka raksasa bersanding dengan wajah manusia tak sempurna mengisi lukisan “Dicari Manusia Punya Jiwa” bagai pencarian tiada akhir.
            Emmanuel Putro Prakoso sempat bermain-main dengan bentuk yang memberi kesan seni-pop. Figur di bidang gambarnya tampak lebih merupakan alasan untuk melatih komposisi bidang yang rata dipulas warna-warni cerah. Karyanya “The Goddes of Fertility” menunjukkan jejak itu di dalam konfigurasi unsur-unsur yang lebih tergarap, berupa sosok ibu hamil tua tampil dalam tampak samping, memegang seonggok padi, dengan rambut dikepang gaya akhir millennium kedua: simbol kesuburan masa kini. Narasi dalam karya-karya Galih Reza Prihanandi Suseno mesti digali dengan cermat lewat permainan sosok, relasi, dan maknanya. Jerapah dengan lingkaran halo di atasnya dalam “Juxtaposition” mungkin yang terpilih sebagai penjaga firdaus, dan bukan para manusia. Dalam “The Best is yet to Come” kerusakan dan kepedihan yang menunggu manusia, sementara sosok berkepala kelinci itu tampaknya harus kita lacak jejaknya dalam karya sebelumnya, “God always Listening and Understanding” ltulah tokoh negeri dongeng yang membawa kabar kebaikan.
            Nanang Yulianto mendemonstrasikan kepekaan artistik yang tinggi dalam lukisannya seperti “Songkok Aspal”, atau “Alam Biru’ maupun “Belajarlah Dan A, B,C...”, dan beberapa karya yang lain. Namun ia ingin memberi makna yang lebih dalam lewat karya barunya “Black & White Meditation”, sebuah gaya bertutur yang mengharapkan keterlibatan penonton secara Iebih aktif. Orang gampang tertarik oleh garap visual, oleh jejak-jejak sapuan alat kerjanya yang menjadi pintu pertama memasuki karyanya.
            Yang menonjol pada karya Fadjar Sutardi adalah citra teknologi, sains, kebaruan, kekinian atau masa depan, memberi kesan logam, atau gambaran yang serba kabel, skrup, atau tombol. Jelas mi menawarkan narasi baru, seperti berbagi perkara yang serba terukur, yang bisa dirancang, dan yang bisa “dikendalikan”. Peran manusia menjadi penting di sini. Maka menarik melihatnya memadukan antara unsur “non-alami” dan unsur manusia seperti dalam serial lukisan “Ear-Composition” dan “Dajjal Eye”. Puncaknya antara lain “Dajjal Eye Part 2’ yang tampil di dalam bentuk-bentuk geometris yang sebagian tembus pandang dan tumpang tindih. Di sini terlihat upayanya untuk merangkum unsur-unsur tak terduga, termasuk kehadiran sosok mata yang terkesan mendadak muncul dan berbagai arah. Kerumitan mi di dalam “Dajjal Eye Part 3” diimbuh dengan latar sebidang datar yang berisi kesan kaligrafis.
            Kedua lukisan yang disebut terakhir mi boleh diduga merupakan semacam jembatan ke arah karya-karyanya terkini seperti “Lingga Mind Yoni Soul”. Tampak olahan visual yang cenderung berwarna tunggal nada, dengan arahan utama memberi kesan sebagai produk manusia yang serba canggih, maju, serba teknologi, atau komputer. Tanda-tanda fisik dan petikan tubuh manusia jelas (telinga, mata, jan, dan sebagainya), tampil Iebih di dalam penggambaran konsep dualitas yang saling melengkapi: yin-yang, negative-positif, atau yoni-lingga. Di dalam hal mi yoni mengambil bentuk sebagai semacam wadah, dan Iingga sebagai sesuatu yang mengisi, menjadi representasi dan berbagai problem manusia yang tetap relevan dengan kekinian.
Begitulah, tubuh manusia telah bertiwikrama menjadi gugusan makna, nilai,simbol, identitas, yang bersaling silang untuk menjadi cermin bagi manusia: kita, yang hidup di han-han mi.
Jakarta, 28 Agustus 2012
(Efix Mulyadi, pecinta seni)








Efix Mulyadi 


Hari Budiono



Fadjar Sutardi



















DISKUSI 



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar